
Empowering Indonesian Growth
28 April 2025
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) diduga menerima gratifikasi untuk mengatur putusan perkara korupsi. Kejaksaan Agung telah menetapkan Arif Nuryanta bersama tiga hakim lainnya sebagai tersangka penerima suap vonis lepas terdakwa korupsi minyak goreng.
Arif Nuryanta yang sebelumnya merupakan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, diduga mengarahkan agar para terdakwa pada perkara yang ditangani PN Jakarta Pusat itu mendapat vonis lepas. Arif menerima suap sebesar Rp 60 miliar sebagai bayaran ‘manajemen perkara’ kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menyatakan ada tiga tersangka lain dalam kasus ini yakni pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
“Saya mohon agar penggunaan profesi advokat ditempatkan pada porsinya dalam diksi perkara ini. Seharusnya diksinya oknum advokat. Tidak semua advokat seperti mereka itu. Toh sebenarnya dalam perkara ini mereka tidak sedang menjalankan tugas profesi pengacara. Kami ini ada sumpah ketika diangkat jadi advokat. Tidak ada bunyi sumpah yang menyatakan bekerjasama sebaik-baiknya dengan hakim untuk melepaskan klien dengan pembagian honorarium secara adil dan memuaskan. Tidak ada itu. Makelar kasus itu bukan advokat. Advokat bukan makelar kasus. Harus dibedakan.”
Praktisi hukum korporasi, investasi, manajemen risiko, dan auditor korporasi Okky Rachmadi S., SH, CIB, ERMAP, CLA menyampaikan bahwa ‘manajemen perkara’ yang dilakukan hakim-hakim ini tidak hanya menciderai keadilan namun juga merusak marwah profesi hakim selaku ‘wakil Tuhan’.
“Masyarakat pencari keadilan berharap permasalahan hukum mereka dapat diberikan keadilan di Pengadilan. Dan yang bisa berikan keadilan itu ya hakim-hakim. Masa oknum-oknum hakim ini malah buka lapak jasa pengaturan putusan pengadilan ? Kalau rakyat yang tidak punya 60 milyar tarifnya berapa ? Ini kan sama dengan menyamakan amanah tugas hakim di pengadilan dengan jualan daging di pasar. Penjual daging dipasar pakai timbangan untuk mengukur nilai daging yang dibeli pelanggan. Ya wajarlah. Karena mereka jualan daging. Putusan pengadilan ditimbang dan dikenakan tarif berdasarkan nilai wani piro itu berarti anggap keadilan itu seperti daging jeroan di pasar.”
Dikutip dari Tempo.co, uang suap dari Syafei yang diterima oleh Aryanto diteruskan kepada Wahyu Gunawan selaku panitera muda. Uang haram dalam pecahan dolar AS dan Singapura itu kemudian disetorkan ke Arif Nuryanta. Wahyu Sang Panitera Muda langsung dapat bagian 50 ribu dolar AS (setara Rp840 juta). Arif Nuryanta kemudian membagikan uang haram tersebut kepada hakim Djuyamto dkk senilai Rp4,5 miliar sebagai "uang baca berkas'. Menurut penyidikan Kejaksaan Agung, 3 hakim ini kemudian dipasok lagi oleh Arif Nuryanta uang dalam mata uang dolar AS senilai Rp 18 miliar melalui Djuyatmo.
“Ya kitab bisa lihat bahwa gratifikasi yang dilakukan oleh okum hakim dalam kasus ini terstruktur dan sistematis. Masing-masing sudah punya tugas dan fungsi. Ini sebenarnya bentuk manajemen risiko yang baik, namun diterapkan oleh penjahat. Bahaya lho kalau penjahat sudah paham manajemen risiko. Metode komunikasi ditentukan oleh mereka berikut penentuan output (hasil) yang spesifik, frekuensi, dan penetapan pelaksana komunikasi dengan pemberi gratifikasi. Ini canggih benar oknum hakimnya. Mungkin dulu satu pendidikan manajemen risiko dengan saya”
Direktur Penyidikan Jampidsus Harli Siregar juga menyampaikan bahwa hakim Djuyamto sempat menitipkan tas kepada satpam Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelum ditangkap. Satpam telah menyerahkan tas tersebut kepada pihak Kejagung. Tas tersebut berisi uang dalam pecahan rupiah Rp 48.750.000 dan 39.000 dolar Singapura (setara Rp500 juta) serta barang bukti elektronik.
“Ini gratifikasi sampai melibatkan satpam segala. Prinsip top to bottom (dari atas ke bawah) dalam manajemen risko nya oke. Sayangnya kalau dalam Good Governance, kepatuhan yang di terapkan prinsip top to bottom - bukan kejahatan. Seharusnya Mahkamah Agung menerapkan prinsip top to bottom untuk kepatuhan. Tapi ya kalau hakim agung saja korup yang bagaimana ya. Lengkap sudah kebusukan lembaga peradilan di Indonesia ini.”, tutup Okky.
Wiwin
Praktik Gratifikasi Di Pengadilan Negeri Jaksel, Jakpus, MA! Lemahnya Manajemen Risiko Kepatuhan & Hukum Dalam Institusi Penegakan Hukum Indonesia!
IndoBisnisToday© 2024. All rights reserved.









